Saturday, May 1, 2010


Kisah Seorang Istri yang Bijaksana yang
Berupaya Memahami Suaminya

Penulis: Mazin bin Abdul Karim Al-Farih

Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang
berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup
bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat
membuatku marah.”

Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku
mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia
berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata:
‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita
asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa
yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau
tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku
ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku
dan dirimu.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku
untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala
puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan
keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila
engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan
jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai
bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini
dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa
yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah
engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak
suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak
menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di
antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan
izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak
menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani
Fulan adalah kaum yang jelek.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang
paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam
keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu
ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku
dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata
kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’ Aku jawab: 'Ia
sebaik-baik istri.' Ibu mertuaku berkata: 'Wahai Abu Umayyah.. Demi
Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang
lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan
perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.'"

Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun,
belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali,
itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”*)
Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah
kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang
dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang
diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang
dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa
yang Dia kehendaki.

*) Al-Masyakil Az-Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal
Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29

(Sumber: Karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih. Edisi Indonesia:
Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang
Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema“, hal. 59-82.

Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah.
Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy
dari http://akhwat.web.id)

*dicopas dari note Sovi Sovia Sovi
http://www.facebook.com/note.php?note_id=387605117954

No comments: