Wednesday, July 7, 2010

MANDI JANABAH Hukum dan Tata Caranya

MANDI JANABAH Hukum dan Tata Caranya

Para pembaca, semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Pada edisi no. 9/II/VIII/1431 lalu telah dibahas sebab-sebab mandi wajib yang diistilahkan dengan mandi janabah. Pada edisi kali ini akan dibahas tentang hukum dan tata cara mandi janabah tersebut.

HUKUM MANDI JANABAH

Para ulama sepakat bahwa seorang yang junub wajib melakukan mandi wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Dan jika kalian junub, maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Maidah: 6)

Begitu juga dengan wanita yang telah suci dari haidh atau nifasnya, diwajibkan mandi seperti mandinya orang yang junub. Berkata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah : “Mandi seorang wanita dari haidh dan nifas seperti mandinya karena junub.” (Al-Hawi Al-Kabir, 1/226)

TATA CARA MANDI JANABAH

Mandi janabah/mandi wajib memiliki dua cara:

1. Cara yang sederhana.

2. Cara yang sempurna.

Pertama: Cara yang sederhana

Cara mandi janabah yang sederhana namun mencukupi/sah adalah cukup dengan berniat dalam hati, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuh secara merata hingga mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (Lihat Al-Minhaj, 3/228)

Kedua: Cara yang sempurna

Mandi janabah/wajib yang sempurna terdiri dari:

1. Niat

Sebelum memulai mandi janabah, maka wajib berniat dalam hati. Karena niat merupakan pembeda antara mandi biasa dengan mandi wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 3530 dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu)

2. Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air

Hal ini sebagaimana diceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)

Mencuci kedua telapak tangan dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:

فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)

3. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:

ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ

“Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)

4. Menggosokkan telapak tangan kiri ke tanah

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ اْلأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا

“Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)

5. Berwudhu

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)

Adapun tata cara berwudhu ketika hendak mandi janabah, para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat sunnahnya mengakhirkan pencucian kedua telapak kaki saat berwudhu ketika mandi janabah. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Nailul Authar, 1/271)

Namun jika menilik berbagai hadits yang ada, maka kita dapati bahwa ternyata berwudhu ketika mandi janabah memiliki beberapa cara, yaitu:

Pertama: Berwudhu secara sempurna seperti wudhu ketika hendak shalat. Dalilnya adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ

“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat.” (HR. Muslim no. 476)

Kedua: Berwudhu seperti ketika hendak shalat, dengan mengakhirkan mencuci kedua kaki setelah mandi. Juga dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ

“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat, tanpa mencuci kedua telapak kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 272)

Ketiga: Berwudhu seperti wudhu ketika hendak shalat, tanpa mengusap kepala. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَيَسْتَنْشِقُ وَيُمَضْمِضُ وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ رَأْسَهُ لَمْ يَمْسَحْ

“Kemudian beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu memasukkan air ke dalam hidung sekaligus ke dalam mulut dengan berkumur-kumur, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya masing-masing sebanyak tiga kali, hingga ketika sudah masuk bagian kepala beliau tidak mengusapnya.” (HR. An-Nasa’i no. 419. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i no. 420 bab tidak mengusap kepala dalam wudhu ketika mandi janabah).

Nampak dari hadits-hadits di atas, bahwa ketiga cara tersebut semuanya sunnah untuk dilakukan. Karena masing-masingnya didasari oleh hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah salah satu bentuk penggabungan (jama’) terhadap hadits-hadits diatas yang dilakukan Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa’i (1/225), karya beliau.

6. Menyela-nyela pangkal rambut dengan jari-jemari hingga kulit kepala terasa basah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِه

“Kemudian beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari tersebut (hingga terasa basah).” (HR. Al-Bukhari no. 240)

7. Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ

“Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 240)

Caranya, tuangan air yang pertama untuk bagian kanan kepala, kemudian tuangan yang kedua untuk bagian kiri kepala, lalu yang ketiga untuk bagian tengah kepala. Cara ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ

“Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya, yang pertama beliau tuangkan air pada bagian kanan kepalanya, kemudian setelah itu bagian yang kiri, lalu terakhir bagian tengah kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 250, Muslim no. 478)

Inilah cara yang dipilih oleh sebagian ulama besar seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Qurthubi, As-Sinji, Asy-Syaukani, dan yang lainnya (Lihat Nailul Authar, 1/270)

8. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ

“Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Muslim no. 474)

9. Mencuci kedua kaki

Jika air sudah diguyurkan secara merata ke seluruh tubuh, maka yang terakhir adalah mencuci kedua kaki. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

“Kemudian terakhir beliau mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474)

Demikian urutan tata cara mandi janabah yang sempurna. Jika seorang yang junub, atau wanita yang selesai dari haidh atau nifas telah selesai melakukannya, maka ia telah suci dari hadats besar.

Hendaknya orang yang mandi janabah memperhatikan bagian-bagian tubuh yang rawan tidak terkena air, seperti ketiak, pusar, bagian dalam telinga, dan bagian-bagian lainnya.

MANDI BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAIDH DAN NIFAS

Mandi bagi wanita yang telah suci dari haidh dan nifas tata caranya sama dengan tata cara mandi janabah. Namun disunnahkan bagi mereka untuk mewangikan bagian/daerah mengalirnya darah, baik dengan minyak wangi atau dengan jenis wewangian lainnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:

وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ

“Dan sungguh kami diberi keringanan ketika salah seorang dari kami mandi dari haidh untuk memakai wangi-wangian.” (HR. Al-Bukhari no. 302)

Mewangikan bagian tubuh tempat mengalirnya darah berlaku untuk semua wanita, baik wanita yang berstatus sebagai istri atau gadis. Hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan aroma yang tidak sedap. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan juga An-Nawawi (Lihat Fathul Bari 3/239, Al-Minhaj 4/14)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Bila wanita yang mandi haidh tidak memakai wewangian pada daerah tempat mengalirnya darah padahal memungkinkan baginya untuk memakainya, maka hukumnya makruh.” (Lihat Al-Minhaj 4/14)

HUKUM MENGURAI RAMBUT YANG DIIKAT/DIJALIN SAAT MANDI

Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika mandi janabah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

“Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan. Kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuhmu. Maka dengan begitu engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Namun beda halnya ketika mandi haidh atau nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh. Sebagian ulama berpendapat wajib. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Ibnu Hazm, Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/275)

Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. Disebutkan dalam riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ قَالَ لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ

“Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi haidh dan janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Namun cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 497)

Adapun hadits yang memerintahkan wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika bersuci, dihukumi dha’if (lemah) oleh ulama pakar hadits. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang dipilih Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Baz, dan yang lainnya (Lihat Taudhihul Ahkam, 1/401)

Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Bila si wanita memiliki rambut yang diikat, maka tidak wajib baginya melepaskan ikatan rambutnya tersebut saat mandi janabah. Mandi wajib dari haidh sama hukumnya dengan mandi janabah, tidak berbeda.” (Lihat Al-Umm, 1/56)

HUKUM BERWUDHU SETELAH MANDI JANABAH

Seorang yang telah selesai dari mandi janabah tidak wajib baginya berwudhu, baik ia melakukan mandi janabah dengan cara yang sederhana atau cara yang sempurna. Karena ia telah suci dari hadats besar, maupun dari hadats kecil. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah selesai mandi (janabah).” (HR. At-Tirmidzi no. 107. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah no. 445)

Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah: “Ulama sepakat, seseorang yang telah selesai melakukan mandi janabah, tidak perlu mengulangi wudhu.” (Lihat Al-Istidzkar, 1/303)

Hal ini jika tidak batal wudhunya sewaktu ia mandi. Jika batal, maka wajib mengulangi wudhunya.

Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=474 Penulis: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 14/IV/VIII/1431

No comments: