Monday, March 1, 2010

Yang Terasing

Pengarang Manazilus-Sa ‘irin mensitir (mengutip ayat) firman Allah berkaitan

dengan masalah ghurbah (keasingan),



“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orang-orang

yang mempunyai keutamaan yang melarang dari

(mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di

antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara

mereka.” (Hud: 116).



Pelandasannya kepada ayat ini dalam masalah ghurbah

menunjukkan kedalamannya dalam ilmu dan ma’rifat serta

pemahamannya tentang Al-Qur’an. Orang-orang yang asing di dunia ini

adalah mereka yang disifati dalam ayat di atas dan mereka yang telah

diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya,



“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali

menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orangorang

yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang

asing itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang

yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”



Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abdurrahman bin Mahdy,

dari Zuhair, dari Amr bin Abu Amr, dari Al-Muththalib bin Hanthab,

dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda,

“Beruntunglah orang-orang yang asing”. Mereka bertanya, “Wahai

Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau

menjawab, “Orang-orang yang bertambah (iman dan takwanya)

selagi manusia berkurang (iman dan takwanya).”



Dalam hadits Abdullah bin Amr, dia berkata,

“Suatu kali selagi kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa

Sallam, Beliau bersabda, “Beruntunglah orang-orang yang asing”.

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang

asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang shalih yang sedikit

jumlahnya di tengah orang-orang yang banyak. Siapa yang

mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang taat kepada

mereka.”



Beliau juga bersabda,

“Sesungguhnya yang paling disukai Allah adalah orang-orang

yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang

asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang lari sambil

membawa agamanya. Mereka berkumpul bersama Isa bin Maryam

Alaihis-Salam pada hari kiamat.”



Dalam hadits lain disebutkan,

“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi

asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang

asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu

wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang

menghidupkan Sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.”



Nafi’ meriwayatkan dari Malik, bahwa suatu kali Umar bin Al-Khaththab

memasuki masjid dan mendapatkan Mu’adz bin Jabal sedang duduk

menghadap ke arah rumah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sambil

menitikkan air mata. Umar bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai

Abu Abdurrahman?”

Mu’adz menjawab, “Saudaramu ini telah binasa.”

“Tidak. Tetapi aku pernah mendengar sebuah hadits yang disampaikan

kekasihku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, juga di masjid

ini.”

“Apa hadits itu?” tanya Mu’adz.

Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

suka sembunyi-sembunyi, miskin, bertakwa dan berbuat kebajikan. Jika

mereka tidak tampak, maka mereka tidak dicari, dan apabila mereka tampak,

maka mereka tidak dikenali. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk.

Mereka keluar dari segala cobaan yang buta dan gelap.”

Mereka adalah orang-orang asing yang terpuji dan berbahagia.



Karena jumlah mereka yang sedikit di tengah manusia yang banyak, maka

mereka disebut ghuraba’ (orang-orang yang asing). Mayoritas manusia

tidak memiliki sifat-sifat ini. Para pemeluk Islam di tengah manusia adalah

orang-orang asing. Orang-orang Mukmin di tengah para pemeluk Islam

adalah orang-orang asing. Orang-orang yang memiliki ma’rifat di tengah

orang-orang Mukmin adalah orang-orang asing.



Ketika Musa Alaihis-Salam melarikan diri dari kaum Fir’aun hingga

tiba di Madyan dalam keadaan seperti yang telah dijelaskan Allah, sendirian,

asing, takut dan lapar. Lalu beliau berkata, “Ya Rabbi, aku dalam

keadaan sendirian, sakit dan asing.”

Dikatakan kepada beliau, “Hai Musa, yang sendirian adalah yang

tidak mempunyai pendamping seperti Aku. Orang sakit adalah yang tidak

mempunyai tabib seperti Aku, dan orang yang asing adalah yang tidak

mempunyai mu’amalah antara Aku dan dirinya.”



Ada tiga macam ghurbah, yaitu:



Ghurbah Pertama: Keasingan orang-orang yang mengikuti Allah dan

Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keasingan yang

pelakunya dipuji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tentang

agama yang dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali

menjadi asing seperti permulaannya serta yang pelakunya menjadi

asing.



Keasingan ini bisa terjadi di satu tempat tanpa yang lain, di satu

waktu tanpa yang lain dan di tengah suatu kaum tanpa yang lain. Tapi

yang pasti, orang-orang yang asing ini adalah mereka yang mengikuti

Allah dengan sebenarnya. Mereka tidak berlindung kepada selain Allah,

tidak mengaitkan dengan selain Rasulullah dan tidak menyeru kepada

selain yang dikabarkan Rasulullah. Jika manusia muncul pada hari kiamat

bersama sesembahan mereka, maka orang-orang yang asing itu tetap

berada di tempat semula. Dikatakan kepada mereka, “Mengapa kalian

tidak menghadap seperti yang dilakukan manusia?” Maka mereka

menjawab, “Kami berbeda dengan manusia, dan pada hari ini kami lebih

membutuhkan(perlu) karunia daripada mereka. Kami sedang menunggu Rabb

yang dulu kami sembah.”



Keasingan ini bukan merupakan keliaran bagi orangnya, tapi itu

merupakan kejinakan selagi manusia menjadi liar. Pelindungnya adalah

Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sekalipun mayoritas

manusia memusuhi dan menelantarkannya(terbiar). Di antara orang-orang yang

asing ialah seperti yang disebutkan Anas dalam haditsnya dari Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam,



“Berapa banyak orang yang kusut dan berdebu, mengenakan dua lembar

pakaian lusuh yang tidak mengundang perhatian, namun sekiranya

dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya.”



Al-Hasan berkata, “Orang Mukmin di dunia seperti orang asing,

yang kehinaannya tidak mengundang kesedihan dan yang kemuliaannya

tidak perlu disaingi. Manusia dalam satu keadaan dan dia dalam keadaan

yang lain. Manusia tidak takut terhadap dirinya, sementara dia dalam

kepayahan.”



Di antara sifat orang yang asing itu seperti yang digambarkan Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah berpegang kepada As-Sunnah selagi

manusia membenci As-Sunnah. Dia meninggalkan bid’ah yang mereka

ciptakan, sekalipun bid’ah itulah yang menjadi tradisi di tengah mereka.

Dia memurnikan tauhid sekalipun mayoritas manusia mengingkarinya.

Dia meninggalkan penisbatan kepada seseorang selain Allah dan Rasul-

Nya, entah kepada syaikh, thariqat, madzhab dan golongan. Seperti inilah

gambaran orang-orang asing yang menisbatkan kepada Allah dengan

ubudiyah, kepada Rasul-Nya dengan mengikuti apa yang beliau bawa.



Orang-orang yang memenuhi dakwah Islam harus meninggalkan kabilah

dan kerabatnya, lalu masuk Islam. Mereka adalah orang-orang asing yang

sebenarnya. Setelah Islam kuat dan dakwahnya menyebar ke-mana-mana

serta manusia masuk Islam secara berbondong-bondong, maka keasingan

itu pun menjadi hilang. Tapi kemudian mereka meng-asingkan diri

sehingga menjadi orang asing seperti keadaan semula. Islam yang

sebenarnya seperti yang ada pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

dan para shahabat benar-benar lebih asing pada zaman sekarang daripada

keasingan Islam pada permulaannya. Sekalipun simbol, rupa dan tandatandanya

yang zhahir ada di mana-mana, tapi Islam yang hakiki dalam

keadaan asing sekali dan para pemeluknya asing di tengah manusia. Orang

Mukmin yang meniti jalan kepada Allah berdasarkan ittiba’ dalam

keadaan asing di tengah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan

keinginannya, mematuhi kekikirannya dan bangga dengan pendapatpendapatnya,

sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi

wa Sallam,



“Suruhlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang mungkar, hingga

jika kalian melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti,

dunia yanglebih dipentingkan, setiap orang yang mengeluarkan

pendapat, kagum terhadap pendapatnya sendiri, dan jika engkau melihat

suatu urusan yang tiada penolong bagimu, maka hendaklah engkau

mengikuti dirimu sendiri secara khusus dan tinggalkanlah mereka

secara umum, karena di belakang kalian ada hari-hari, yang pada saat

itu orang-orang yang sabar seperti orang yang sedang memegang bara

api.”



Orang Mukmin yang benar adalah orang asing dalam agamanya

karena kerusakan agama manusia, asing dalam keteguhannya berpegang

kepada As-Sunnah karena manusia berpegang kepada bid’ah, asing dalam

akidahnya karena kerusakan keyakinan mereka, asing dalam shalatnya

karena keburukan shalat mereka, asing dalam jalannya karena kesesatan

jalan mereka, asing dalam pergaulannya dengan mereka karena dia

mempergauli mereka tidak seperti yang mereka kehendaki. Secara umum

dia adalah orang asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, tidak

mendapatkan dukungan dan pertolongan dari manusia secara umum.



Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keasingan orang-orang

yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar dan

lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat

keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, toh(namun) mereka tetap

disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi

namun tidak dikenal di antara penghuni langit.



Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela.

Ini merupakan keasingan karena meninggalkan kampung halaman.

Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini

bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan

tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi Shallallahu

Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu

Anhuma,



“Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau

pengembara.”



Bagaimana tidak disebut orang asing jika di dunia ini seorang hamba

adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang dalam perjalanannya

itu dia hanya bisa mengaso(melepas lelah) di antara orang-orang yang berbaring di

kuburnya?



Sumber:
Madarijus-Salikin-

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

(Pendakian Menuju Allah); Edisi Indonesia

Penerjemah: Kathur Suhardi


Cetakan: Kedua. Agustus 1999

Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR

Jin. Kebon Nanas Utara 11/12

Jakarta Timur 13340
taken from Muslim In Volgograd

No comments: