Tuesday, April 5, 2011
Jangan Ungkapkan Cinta Pada Hati Lembutnya
Ditulis oleh Ummu 'Aisy Bintu Ilham
Ada sebuah kisah klasik di antara kita para anak manusia…
Adam dan hawa, begitulah kecenderungan manusia pada tiap lawan jenisnya…
Ada ikhwan akhwat, akhi ukhti, qais laila, cewek cowok, romeo juliet, dan begitu seterusnya…
Sudahlah biasa mungkin, jika cinta itu diungkapkan seorang cowok pada kekasihnya…
Pada kenyataannya, mereka memang dua sejoli yang sedang memadu kasih, dimabuk lautan asmara…
Pertanyaannya kemudian adalah apakah biasa jika cinta itu diungkapkan seorang ikhwan kepada akhwat atau bahkan mungkin sebaliknya???
Yang notabene uda pada ngaji…
Jujur… Itu bukanlah hal yang biasa…
Bukan, bukanlah hal biasa…
Tapi sungguh luar biasa…
Ketika ada si ikhwan berkata pada akhwatnya “ukhti, aku mencintaimu dan menyayangimu…”
Hmm, sederet kata sayang yang memenuhi ucapannya… mengharapmu menjadi kekasih hati…
Terbungkus harapan dan janji-janji manis…
Padahal belumlah saatnya ungkapan itu dilontarkan…
Coba hawa, apa yang kalian rasakan jika ungkapan itu mendarat di telingamu??
Akankah terbang di atas awan ataukah terbuai angan panjang…
Mungkin dari kalian ada yang punya hati sekuat baja… so, mental lah kata-kata itu…
Tapi tak semua… di antara kita banyak berhati bak kapas yang mudah diterbangkan kemana pun angin berhembus…
Betapa tak kuasanya…
Lembutnya hati si hawa…
Adam, tegakah kalian menodai hati lembutnya??
Dengan kepolosan dan keluguannya…
Atau bahkan mungkin kebodohannya…
Ya, mungkin karena kebodohan dan kedangkalan ilmunya…
Tolong, jaga hati kami… kalo ga boleh dikatakan kalian memanfaatkan, mempermainkan, atau menguji hati kami…
Tau, jawabnya apa?
Maaf, kalo boleh kami sebut kalian adalah pengecut…
Kenapa begitu? Karena antum hanya bermain-main dengan sehelai kapas… yang kecil, tipis, mudah terbang tanpa arah dan tujuan…
Bermain-main di belakang dalam angan dan buaian…
Realitasnya, kalian belum berani menghadapinya…
Adakah jika engkau jantan, maka nikahi aku??
Bisakah??
Renungkanlah…
Jauhi kami, jika kalian tak kuasa dengan fitnah hawa…
Janganlah percikkan bara, jika kalian tak ingin terbakar olehnya…
Janganlah menantang resiko dengan mendekati pintu-pintu fitnah, jika kalian ga bisa menanggung konsekuensinya…
Melegalkan cara-cara yang telah diharamkan-Nya…
Bagaimanapun itu uda keluar dari jalur and syari’at-Nya…
Terbuai cinta yang bersemi sebelum waktunya…
Sehingga menempuh jalan bermaksiat kepada-Nya…
Sabarlah dan tuntutlah ilmu…
Amalkan dulu ilmu yang kita punya dalam balutan ketaatan dan ketaqwaan…
Jika memang sudah tak bisa…
Tempuhlah jalan yang paling mulia tuntunan RasulNya…
Menikahlah melalui jalur syari’atNya...
Dengan cara-cara yang dilegalkan dan dihalalkan-Nya…
Muslim yang baik untuk muslimah yang baik…
Muslimah yang baik untuk muslim yang baik pula…
Dan sebaliknya…
Semoga Alloh memberkahi… dalam ikrar suci yang menyatukan cinta kalian karena-Nya terbingkai indah dan mulia dengan sebuah pernikahan…
Kuntum mawar yang telah merekah mempesona, hadirkan ungkapan cinta suci pada kekasihnya…
Itulah cinta yang sesungguhnya…
Teruntuk ukhti fillah…
Pesan ukhti muthi’ah… semoga Alloh merahmatinya…
“Ukhti, aku sangat menyayangi antunna karena Alloh…
Semoga Alloh menyayangimu…
Hijabilah hatimu dengan hijab kalian…
Hijab yang sempurna…
Jangan biarkan hatimu mudah terjatuh karena rayuan seorang lelaki khilaf dan berpenyakit hatinya… hingga terlena akan harapan-harapan dan omong kosong mereka…
Jauhilah mereka…
Syaithan tak pernah lengah untuk menggoda hamba-Nya…
Senantiasalah istiqomah di jalan-Nya…
Memohonlah penjagaan dari Rabb-Mu dalam ketaatanmu…
Semoga Alloh memberikan yang terbaik untukmu, hidupmu, agamamu, dunia dan akhiratmu…”
Baarakallaahu fiikum….
Bumi Alloh di waktu pagi
Sebuah renungan untuk diriku dan saudaraku fillah
http://www.facebook.com/#!/notes/wanita-solehah-tidak-memandang-tidak-dipandang/jangan-ungkapkan-cinta-pada-hati-lembutnya/198066880225079
Wednesday, March 30, 2011
Menyesal Karena Menolak Jodoh (Semoga Bisa Diambil Ibrahnya)
Pertanyaan:
Saya seorang wanita, 30 tahun. Beberapa tahun ini saya mengalami kegelisahan yang luar biasa karena belum menikah. Beberapa kali mengalami kegagalan, bahkan di antaranya membuat saya trauma. Banyak yang suka terhadap saya, tetapi sering mengalami “maju-mundur” dalam proses menuju keseriusan. Di kala saya maju, sang lelaki yang mundur, demikian sebaliknya, di kala sang lelaki maju, saya yang mundur.
Ada seorang lelaki muslim yang sampai saat ini membuat saya menyesal karena telah menolak hanya karena saya tidak suka padanya, padahal secara agama, lelaki tersebut baik. Itu terjadi tiga tahun yang lalu. Sekarang, dia sudah menikah dan saya belum bisa melupakan penyesalan itu. Sementara, sekarang adik saya sudah menikah dan saya semakin depresi.
Yang ingin saya tanyakan:
- Apakah ini musibah, cobaan, ataukah Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum saya karena pernah menyakiti lelaki sebelumnya?
- Apakah seringnya hubungan “maju-mundur” saya dengan seorang lelaki merupakan tanda-tanda bahwa itu bukan jodoh? Ataukah saya yang pilih-pilih?
- Bagaimana menghilangkan rasa penyesalan saya dan membangkitkan rasa percaya diri karena belum menikah?
- Bagaimana menghilangkan rasa sakit hati karena didahului oleh adik?
- Bagaimana cara meredam kegelisahan hati saya, meskipun sudah seringkali saya coba dengan memperbanyak shalat, dzikir, tilawah, dan pasrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
- Apa hukumnya diruwat, dalam pandangan agama Islam? (Diruwat adalah upacara untuk menghilangkan keburukan/kesialan dalam tubuh seseorang)
Jawaban:
Kami memberikan sebuah kunci kaidah saja, bahwa dalam menyikapi segala bentuk takdir, hendaknya seorang hamba pandai-pandai melakukan intropeksi. Sudahkah saya melakukan yang terbaik? Salahkah saya? Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Dan seterusnya ….
Soal tabah dan bersyukur, jelas tidak kalah penting. Akan tetapi, percuma saja bersikap seperti orang yang tabah menghadapi segala musibah jika ternyata tidak mampu mengembangkan potensi, memperbaiki kesalahan, dan memilih yang terbaik untuk masa selanjutnya. Tentunya, seseorang itu telah berbohong jika dia mengatakan dirinya telah bersyukur, namun dia tidak mampu memperbaiki sikap di kemudian hari.Soal apabila Saudari pernah menyakiti banyak orang, cukup diselesaikan dengan bartobat saja. Meminta maaf dapat dilakukan, terkait dengan ucapan dan tindakan Saudari yang kurang tepat. Kalau soal penolakan, itu hak, tidak ada masalah benar dan salah dalam hal itu. Kalaupun Saudari menolak pinangan lelaki yang shaleh, Saudari hanya bersalah terhadap diri sendiri dan di hadapan Allah. Lagi-lagi, solusinya memang hanya satu, yaitu bertobat.
Apa yang Saudari alami memang berkutat pada pusaran takdir. Jalan terlaksananya takdir memang bermacam-macam. Sikap Saudari itu pun sudah tercatat dalam alur takdir, sehingga mengakibatkan pernikahan Saudari seolah tertunda-tunda. Namun, sekali lagi, jangan tatap takdir itu sebagai sesuatu yang harus dikoreksi, disesali, atau diumpat. Pandang saja letak kesalahan Saudari. Terlalu memilih, mungkin itu ungkapan agak kasar yang lebih tepat untuk Saudari renungkan.
Ingat, mencari seorang lelaki shaleh bukanlah perkara gampang. Sudah berusaha pun, belum tentu berhasil. Sementara, akibat dari menikah dengan lelaki yang tidak shaleh, sungguh merupakan bencana besar bagi wanita. Dengan harta dan uang, seorang lelaki bejat bisa mengubah surga dunia justru menjadi neraka dunia. Langkah praktisnya, cobalah berpikir realistis. Utamakan memilih lelaki yang shaleh, meskipun memiliki kekurangan fisik atau yang lainnya, tentunya selama Saudari masih mampu menerimanya. Bila sampai batas–maaf–menjijikkan dalam pandangan Saudari, bahkan dikhawatirkan bila menikahinya akan menjerumuskan Saudari dalam maksiat, silakan menolak. Itu adalah hak Saudari. Atau, ada pilihan dua atau tiga lelaki yang sama-sama shaleh, tidak bisa dibedakan yang satu dengan yang lain, sementara Saudari lebih memilih yang–taruhlah–lebih tampan, lebih kaya, dan seterunya. Itu pun tidak menjadi masalah.
Baiklah …. Akan tetapi, semua sudah terjadi, dan pemaparan di atas dapat Saudari lakukan untuk masa yang akan datang. Tidak ada yang perlu disesali. Ikatan jodoh, terkadang dan bahkan seringkali, terasa aneh dan unik. Ada orang yang berusaha menikah tetapi tidak jadi-jadi, namun begitu sudah tidak terpikir menikah, tiba-tiba saja hanya dalam hitungan hari, sudah menjadi pasutri. Kalau sudah berpikir tentang takdir seperti itu, jiwa akan terasa lega dan lapang. Sabar saja, jodoh itu pasti akan datang. Yang lalu, biar saja berlalu. Lipat saja dalam gudang pengalaman Saudari. Mungkin, di hari kemudian, bisa Saudari baca dan pelajari kembali.
Rasa gelisah, takut, khawatir, dan sejenisnya memang harus diperangi. Memang, tidak seketika saja dapat lenyap, bahkan bisa jadi selamanya tidak akan lenyap. Namun, ketika seseorang memiliki kendala hati dan ia berupaya mengantisipasinya, sebenarnya ia sedang mengais pahala. Orang pemarah yang berusaha menahan amarahnya bisa mendapat pahala jauh lebih besar daripada orang penyabar yang sedang marah kemudian menahan amarahnya, karena, perjuangannya pun lebih berat.
Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang kuat bergulat, namun yang mampu menahan diri ketika marah.”
Yang terpenting, segala bentuk kekhawatiran, rasa takut, dan penyesalan itu bisa diredam sehingga tidak meledak; syukur-syukur dapat ditaklukkan. Bagaimana pun hasilnya, perjuangan berat itu pasti juga melahirkan kebahagaiaan di sisi lain.
Dalam jodoh, tidak ada istilah perlombaan, tidak ada istilah menang atau kalah. Seperti juga rezeki, tidak jarang dua orang bersaudara kembar yang ternyata memiliki jalur rezeki yang jauh berbeda: yang satu kaya raya, yang satu miskin nelangsa. Baik, anggap saja bahwa perasaan sakit itu wajar, karena merasa didahului. Jadikan itu sebagai perang lanjutan dalam jiwa Saudari. Kembalilah untuk menaklukkan perasaan sakit itu, sambil terus berupaya berdoa,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemurungan dan rasa sedih. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pelit dan penakut. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kekuasaan sesama hamba.”
Sadarilah, bahwa Allah lebih mengetahui kebutuhan kita ketimbang diri kita sendiri. Kalau Saudari sudah bertawakal kepada Allah, pasti segala kebutuhan Saudari akan terpenuhi. Mungkin, Saudari sedang dipersiapkan untuk menjadi lebih kuat menahan beban pernikahan yang merupakan perjuangan berat, di samping juga karunia hebat.
Di samping itu, tidak ada istilah percaya diri atau tidak percaya diri, kalau sudah berhadapan dengan takdir, yang ada: pasrah atau tidak pasrah, rela atau tidak rela. Sama halnya dengan masuk surga. Bagi seorang muslim, tidak ada istilah optimis masuk surga, atau kebalikannya, pesimis selamat dari siksa neraka. Yang ada, rasa takut dan berharap-harap. Tampil saja apa adanya, perbanyak beribadah, belajar dengan tekun, sambil terus berdoa. Semoga, saat masa pernikahan tiba, Saudari dalam kondisi iman di puncak, sehingga bisa menatap segala hal dengan panduan syariat secara lebih dominan ketimbang hawa nafsu. Di situ, keselamatan Saudari akan terjamin.
Ruwatan dan sejenisnya adalah kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalam ajaran Islam, sudah ada pembentengan diri yang disebut dosa atau ruqyah. Dengan sering-sering membaca Al-Baqarah, segala godaan jin dan setan niscaya musnah. Dalam Islam pula, akhlak yang buruk dan komitmen agama yang rendah adalah kesialan. Wanita yang membawa sial adalah wanita yang berakhlak buruk. Demikian dijelaskan oleh para ulama, di antaranya oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi. Dengan agama yang baik dan budi pekerti mulia, kita akan terbimbing menuju nasib yang mujur dunia dan akhirat, terlepas dari kenyataan bahwa Saudari akan menikah cepat atau lambat, karena itu tidak ada hubungannya dengan kesialan atau kemujuran. Saudari, kami akan membantu dengan doa.
Sumber: Majalah Nikah, Vol. 3, No. 12, Maret, 2005.
Dengan penyuntingan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Azan dan Iqomah di Telinga Bayi yang Baru Lahir. Bagaimana Hukumnya ?
Al-Ustadz Abu Muawiah
Sepanjang pemeriksaan kami, ada lima hadits yang menyebutkan masalah ini, berikut penjelasannya:
1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali -seperti azan shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath-Thoyalisy (970), Abu Daud (5105), At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al-Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘anhu-.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’aib dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضي الله عنهما حِيْنَ وُلِدَا وَأَمَرَ بِهِ
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”.
Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’aib menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan “beliau memerintahkan hal tersebut(1)”.
Akan tetapi jalan Hammad -termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’aib At-Taimy, Abu Syu’aib Al-Hummany …, ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3)
Kita kembali ke jalan Sufyan Ats-Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. ‘Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225).
Berkaca dari uraian di atas, kita tidak ragu untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah (arab: dho’ifun Jiddan).
2. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍ يَوْمَ وُلِدَ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (8620) -dan beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif dari Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas.
Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta””.
3. Hadits Al-Husain bin ‘Ali -radhiyallahu ‘anhuma-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ, فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى, لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan membahayakan dirinya”.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ab (8619), Abu Ya’la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam ‘Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘Abdillah dari Al-Husain bin ‘Ali.
Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua orang pendusta di dalamnya:
1. Yahya Ibnul ‘Ala`. Imam Al-Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad-Daraquthny berkata, “Dia ditinggalkan (arab: matra ditinggalkan (arab: matruk)”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (7/206-207) karya Adz-Dzahaby dan Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘Ala`.
2. Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam Ahmad, Al-Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘Arubah Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (6/397-399)
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ وُلِدَا
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu ‘anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”.
Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh Al-’Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya, dia sering berdusta dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210)
5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah -radhiyallahu ‘anha-.
Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil:
فَإِذَا وَضَعْتِيْهِ فَأْتِنِي بِهِ. قَالَتْ: فَلَمَّا وَضَعْتُهُ, أَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“Jika kamu telah melahirkan maka bawalah bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya membawanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …”.
Al-Haitsmy berkata dalam Al-Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh Ath-Thobrany dalam Al-Ausath (4), dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”.
Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang menerangkan disyari’atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak boleh diamalkan.
Wallahu A’lam.
_________
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al-Bukhary -rahimahullah-. Imam Al-Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘Ady
(4) Al-Mu’jamul Ausath (9/102/9250)
(1) Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya mengazankan bayi yang baru lahir, karena asal dalam perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah bermakna wajib.
(2) Ini termasuk jarh (kritikan) yang sangat keras tapi dengan penggunaan lafadz yang halus, dan ini adalah kebiasaan Imam Al-Bukhary -rahimahullah-. Imam Al-Bukhary menggunakan lafadz ini untuk rowi-rowi yang ditinggalkan haditsnya. Lihat Fathul Mughits (1/372)
(3) Lihat kritikan lain terhadapnya dalam Al-Kamil (2/242-243) karya Ibnu ‘Ady
(4) Al-Mu’jamul Ausath (9/102/9250)
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=950
Islam Mengharamkan Tidak Mau Mempunyai Anak Karena Takut Miskin
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan (kamu). Kami akan memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka” [Al-An’aam : 151]
Dan firman-Nya lagi
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar” [Al-Israa : 31]
Faedah.
Pada ayat yang pertama (Al-An’aam : 151) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu”. Karena kemiskinan (kamu) terjemahan dari (min imlaaqi). Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kekafiran memang telah ada sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain Ulama. Maka janganlah kefakiran kamu itu menyebabkan kamu membunuh anak-anak kamu. Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini didahulukan penyebutan terhadap orang tua kemudian anak.
Firman-Nya : “Kamilah yang memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)”. Sedangkan dalam ayat yang kedua (Al-Israa : 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin”. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka (orang tua). Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang. Lantaran itu mereka bunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan yang akan menimpa mereka!? Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai menyebut anak kemudian orang tua.
Firman-Nya : “Kami yang akan memberi rizki kepada mereka (yakni anak-anak kamu) dan juga kepada kamu”. Disinilah letak perbedaan kedua ayat di atas (Al-An’aam : 151 dan Al-Israa : 31). Perhatikanlah!
Kedua firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas memberikan pelajaran dan hukum yang sangat tinggi kepada kita ;
Pertama : Bahwa salah satu perbuatan jahilliyyah ialah membunuh anak mereka karena kemiskinan yang ada pada mereka atau karena takut miskin di masa mendatang disebabkan adanya anak. Dari sini kita mengetahui bahwa salah satu sifat orang jahilliyyah ialah takut mempunyai anak atau tidak mau mempunyai anak karena kefakiran mereka atau takut jatuh miskin atau fakir. Perhatikanlah dan pahamkanlah ! Alangkah serupanya kemarin malam dengan malan ini! Sebagian kaum muslimin yang hidup pada zaman kita sekarang ini ketakutan bahkan sangat takutnya mempunyai anak karena kemiskinan mereka itu atau takut miskin di masa mendatang!? Kaum muda yang baru nikah tidak mau langsung mempunyai anak dengan alasan misal yang kita dengar :
“Ekonomi kami belum cukup!”
Gaji masih kecil!”
“Belum mampu mengurus anak!”
“Rumah masih ngontrak!”.
Sebagian mereka ada yang membatasi kelahiran, tidak mau lebih karena alasan yang sama yang semua itu terkumpul menjadi satu yaitu ketakutan di atas ketakutan atas kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin disebabkan anak!
Alangkah serupanya sifat dua keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin!!!
Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di Arafah.
“Artinya : Ketahuilah ! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim : 4/41]
Salah satu urusan jahilliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin! Ini! Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad (keyakinan) takut miskin atau takut tidak bisa makan atau, atau, atau…. Samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak mereka.
Kedua : Membunuh anak-anak karena dua sebab di atas yaitu karena kemiskinan atau takut miskin atau sebab-sebab lain adalah perbuatan dosa yang sangat besar sekali sebagaimana firman Allah di atas bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata : Aku bertanya atau ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?”
Jawab beliau, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan (sekutu) padahal Dia yang menciptakan kamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau membunuh anakmu lantaran takut makan bersamamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”
[Shahih Riwayat Bukhari 6/14 dan Muslim 1/63 : 64]
Kesimpulan
Bahwa tidak mau atau takut mempunyai anak atau membatasi kelahiran dengan keyakinan seperti keyakinan jahilliyyah yaitu :
1). Karena kemiskinan dan takut semakin miskin dan fakir
2). Atau takut jatuh miskin dan fakir
3). Atau takut miskin karena banyak anak
4). Atau susah dan merasa berat mengurus dengan dasar pendidikan dan lain-lain.
Maka hukumnya haram dengan kesepakatan para Ulama umat ini yang dahulu dan sekarang (baca ; Ulama pewaris ilmunya para Nabi).
Jika dikatakan, “Bukankah di dalam Islam ada ‘azal (yaitu mengeluarkan mani di luar rahim). Sedangkan ‘azal pada hakikatnya tidak mempunyai anak dengan pencegahan kehamilan. Dan ‘azal ini dibolehkan di dalam Islam. Dengan sendirinya Islam tidak melarang mencegah kehamilan atau membatasi kelahiran, bagaimana jawaban saudara?”
Saya jawab.
Pertama : Tidak syak lagi bagi ahli ilmu khususnya dan sebagian kaum muslim umumnya, bahwa ‘azal terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini cukup banyak dan masyhur dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslin dan lain-lain.
Kedua : Adapun hukumnya para Ulama kita telah beselisih dalam menentukannya. Akan tetapi pandangan yang lebih kuat hukum ‘azal adalah makruh yang lebih utama ditinggalkan karena beberapa sebab.
Sebab Pertama : ‘Azal terjadi pada masa turunnya wahyu sedangkan Allah tidak menurunkan ayat yang melarangnya.
Sebab Kedua : Tidak ada larangan yang sharih (tegas) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ‘azal adalah :
“Artinya : Mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi” [Riwayat Muslim 4/161 dan lain-lain]
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak secar zhahirnya. Akan tetapi hanya merupakan tasybih yaitu penyerupaan bahwa ‘azal itu menyerupai orang yang mengubur anak hidup-hidup secara zhahir yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan secara sembunyi (khafi) karena beberapa hal.
Hal yang pertama : Niat dan maksudnya tidak mau mempunyai anak
Hal yang kedua : Memutuskan kelahiran sebelum datangnya (yakni datang kehamilan). Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namakan mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun jelas bahwa mereka (orang yang melakukan ‘azal) tidak mengubur anak hidup-hidup secara zhahir. Oleh karena itu hukumnya pun tidak berlaku secara zhahir.
Sebab Ketiga : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian dari maksud-maksud nikah diantaranya ialah memperbanyak umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi kebanggaan beliau di hadapan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu bahwa umat beliau adalah yang terbanyak dan terbesar dari seluruh umat para Nabi dan Rasul. (Baca kembali hadits-hadits di fasal pertama)
Sebab Keempat : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian kelezatan jima’ (bersetubuh). Imma terhadap istri atau terhadap keduanya (suami – istri).
Ketiga : Bahwa ‘azal yang terjadi dan dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikerjakan oleh sebagian Shahabat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada zaman kita hidup sekarang ini dengan beberapa perbedaan yang sangat mendasar sekali yaitu.
Perbedaan yang pertama : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal dengan tidak meyakini (tanpa i’tiqad) bahwa dengan ‘azal itu pasti dapat mencegah kehamilan ! Tidak demikian keyakinan mereka!
Keyakinan mereka bawha ‘azal sama sekali tidak dapat merubah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan akan terjadi anak maka terjadilan. Begitu keyakinan (i’tiqad) mereka sebagaimana diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya sabda beliau ketika ditanya tentang ‘azal.
“Artinya : Hanyasanya dia itu qadar (takdir)” [Shahih Muslim : 4/158, 159]
Maksudnya : Terjadinya anak dan tidaknya disebabkan takdir bukan karena ‘azal!
Perhatikanlah ! inilah keyakinan yang benar!
Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum kita selain mereka telah mempergunakan berbagai macam alat pencegah kehamilan bukan ‘azal yang dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa dengan alat-alat tersebut kehamilan dapat dicegah!? Ini adalah keyakinan yang batil dan menyalahi kenyataan yang dapat disaksikan oleh manusia! Berapa banyak orang yang ‘azal baik dengan cara lama atau dengan menggunakan alat –terlepas dari keyakinan masing-masing- kenyataannya istrinya hamil kemudian melahirkan yang akhirnya ia mendapat anak!
Sebaliknya, berapa banyak orang yang tidak melakukan ‘azal baik dengan cara lama atau menggunakan alat kenyataannya istrinya tidak hamil! Bahkan ada yang sampai seumur hidupnya tidak mempunyai anak! Cerita tentang dua kejadian di atas banyak sekali sampai kepada derajat mutawatir! Ini perbedaan yang pertama!
Sedangkan perbedaan yang kedua : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal atau katakanlah “mencegah kehamilan”, tanpa i’tiqad (keyakinan) sama sekali seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kuffar seperti kami terangkan di atas.
Sedangkan kaum kita dewasa ini –tentunya tidak semuanya- mereka melakukan ‘azal atau lebih bebasnya kita katakan saja mencegah kehamilan karena tidak mau mempunyai anak atau lebih ‘arifnya kita katakan belum mau mempunyai anak atau membatasi kelahiran, apakah dengan cara lama ‘azal atau dengan menggunakan alat, semuanya mereka lakukan dengan keyakinan (i’tiqad), seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kufar pada zaman kita sekarang ini, yaitu.
1). Karena miskin atau fakir
2). Karena takut miskin atau fakir
3). Takut miskin karena mempunyai anak banyak
4). Kata mereka, “Susah mengurusnya!?, “Jadi beban!?”, “Banyak keluar biaya!?”
Dan lain-lain alasan yang semuanya terkumpul menjadi kamus “kesusahan diatas kesusahan”. Itulah keyakinan sebagian kaum kita dalam masalah mencegah kehamilan atau membatasinya. Alangkah sedihnya melihat kenyataan ini!
Keyakinan yang ditangisi oleh Islam dan dibatalkannya! Inilah yang sangat kita sayangkan dan sesalkan, bahwa sebagian saudara-saudara kita telah dimiskinkan hatinya oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang kafir itu memiskinkan harta-harta mereka!
Ini ! Kemudian datang kepada saya satu pertanyaan yang maknanya sebagai berikut ; Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Saya jawab : [1]
Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Pertama : Bahwa i’tiqad di atas menyerupai i’tiqad kaum jahilliyyah atau kaum kuffar dan maksud-maksud mereka yang dahulu dan sekarang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan segala urusan jahilliyyah sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ‘Ketahuilah! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan”.
Bersama sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : …Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum (yakni kaum kuffar), maka dia (orang tersebut) termasuk dari golongan mereka (yakni orang yang mengikuti sunnahnya orang-orang kafir)”.
Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Thahawiy di kitabnya Musykilul Atsar sebagaimana telah saya terangkan di Riyadlul Jannah (no.145).
Hadits yang mulia ini merupakan larangan yang tegas dalam bentuk khabar tentang tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Dalam hal ini sebagai kaum muslimin telah menyerupai keyakinan orang-orang jahilliyyah tentang masalah anak.
Ketahuilah! Bahwa orang-orang jahilliyyah membunuh anak-anak mereka –sebagaimana di beritakan Al-Qur’an- karena tiga sebab.
Pertama : Karena sebab kemiskinan mereka
Kedua : Karena sebab takut miskin
Ketiga : Karena sebab malu mempunyai anak perempuanUntuk yang pertama dan kedua tidak syak lagi bahwa sebagian kita telah mempunyai i’tiqad orang-orang jahilliyyah. Mereka tidak mau mempunyai anak atau katakanlah belum mau atau membatasi kelahiran karena sebab miskin atau takut miskin meskipun mereka belum membunuhnya! Bahkan mereka pun telah melakukannya walaupun jumlahnya masih kecil! Dan celakanya, sebagian dari mereka telah menempuh atau mencari jalan yang lain yaitu menjual anak-anak mereka kepada orang-orang kaya karena dua sebab di atas. Lebih lanjut masalah ini akan saya luaskan di fasal adopsi.
Adapun untuk yang ketiga tidak syak lagi bahwa sebagian dari kita telah membunuh anak-anak mereka bukan karena malu mempunyai anak perempuan akan tetapi karena malu mempunyai anak disebabkan hamil atau melahirkan di luar nikah!!!
Mereka bunuh anak-anak mereka dengan berbagai macam cara yang keji-keji. Ada yang di cekik, ada yang dibuang di got, di tong sampah, di kali dan lain-lain. Bahkan! Lebih celaka lagi sebagian dari mereka membunuh anak-anak mereka untuk tujuan-tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan atau ilmu (baca : ngelmu). Mereka mendatangi gunung-gunung atau goa-goa tertentu dan lain-lain tempat. Misalnya gunung Kawi yang sudah cukup masyhur untuk memperoleh kekayaan misalnya dengan mengadakan pernjanjian untuk menyembah iblis! Dan iblis pun memberikan berbagai macam syarat kalau mau kaya di antaranya “membunuh anak” untuk dipersembahkan kepada iblis sebagai tumbal!? Ini kenyataan!
Semua yang tersebut di atas adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi kecuali kita rela membutakan mata hati dan lahir kita!
[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[1]. Pada hari ini Kamis 18 Sya’ban 1418H pada malam Jmu’at jam 21.14 (09.14) bertepatan dengan 18 Desember 1997 lahir anak pertama saya –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karunia dan rahmat-Nya yang sangat besar kepada saya dan istrri- anak perempuan yang saya namakan : Unaisah
Tuesday, March 22, 2011
I'm Going Home
Finally Alhamdulillaah a'la kulli haal
counting days
I come home ...
thanks to friends who I love because of Allaah subhanahu wa ta'ala upon your prayers ....
you guys are always there when I needed you jazaakunnallaahu khairal jazaa fid dunyaa wal aakhirah Semoga Allaah memberi antunna balasan terbaik di dunia dan akhirat sana, dan semoga Allaah mengistiqomahkan kita dijalanNya yang Lurus diatas al-Qur'an dan Sunnah amiinn...
saat saat yang kita lalui bersama adalah keindahan semoga kelak Allaah mengumpulkan kita dan mempertemukan kita dalam kebaikan amiin yaa rabbal a'lamiin...
counting days
I come home ...
thanks to friends who I love because of Allaah subhanahu wa ta'ala upon your prayers ....
you guys are always there when I needed you jazaakunnallaahu khairal jazaa fid dunyaa wal aakhirah Semoga Allaah memberi antunna balasan terbaik di dunia dan akhirat sana, dan semoga Allaah mengistiqomahkan kita dijalanNya yang Lurus diatas al-Qur'an dan Sunnah amiinn...
saat saat yang kita lalui bersama adalah keindahan semoga kelak Allaah mengumpulkan kita dan mempertemukan kita dalam kebaikan amiin yaa rabbal a'lamiin...
Subscribe to:
Posts (Atom)