Sunday, December 12, 2010

PERINCIAN PEMBAGIAN HARTA WARIS



Oleh : Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

KERABAT LAKI-LAKI YANG BERHAK MENERIMA PUSAKA ADA 15 ORANG

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek / ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak

Selain yang disebut di atas termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 775-776

ADAPUN AHLI WARIS PEREMPUAN SECARA TERINCI ADA 11 ORANG

1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek / ibunya ibu
5. Nenek / ibunya bapak
6. Nenek / ibunya kakek
7. Saudari sekandung
8. Saudari sebapak
9. Saudari seibu
10. Isteri
11. Wanita yang memerdekakan budak

Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776

Catatan.
[1]. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.

[2]. Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung

[3]. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.

PERINCIAN BAGIAN SETIAP AHLI WARIS DAN PERSYARATANNYA.

Bagian Anak Laki-Laki
[1]. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
[2]. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
[3]. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
[4]. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.

Bagian Ayah
[1]. Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
[2]. Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat ½ dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa).
[3]. Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat ½, ayah mendapat 1/6 plus ashabah.

Mengenai seorang anak wanita mendapat ½, lihat keterangan berikutnya. Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan datuk.

Bagian Kakek
[1]. Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki.
[2]. Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia
[3]. Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mati meninggalkan datuk dan suami. Maka suami mendapatkan ½, lebihnya untuk datuk. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1
[4]. Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat ½, kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa).

Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagianya.

Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya. Silahkan membaca kitab Mualimul Faraidh, hal. 44-49 dan Tashil Fara’idh, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 28 dan kitab lainnya.

Bagian Suami
[1]. Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
[2]. Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan

Bagian Anak Perempuan
[1]. Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
[2]. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
[3]. Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.

Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
[1]. Mendapat ½, bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
[2]. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempaun.
[3]. Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
[4]. Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian.

Bagian Isteri
[1]. Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
[2]. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
[3]. Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu

Bagian Ibu
[1]. Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu
[2]. Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari
[3]. Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak
[4]. Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa)
[5]. Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa).

Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 778-779 dan Al-Mualimul Fara’idh, hal. 35

Bagian Nenek
Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek.
[1]. Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
[2] Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 780

Bagian Saudari Sekandung
[1]. Mendapat ½, jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak.
[2]. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.
[3]. Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.

Bagian Saudari Sebapak
[1]. Mendapat ½, jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung
[2]. Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung.
[3]. Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak.
[4]. Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian.

Bagian Saudara Seibu
Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya
[1]. Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek.
[2]. Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek.

 

[Ditulis berdasarkan kitab Mualimul Fara’idh, Tashil Fara’idh (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin), Mukhtashar Fiqhul Islam, dan kitab-kitab lainnya]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]


Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2023/slash/0

Monday, December 6, 2010

Hukum Nasyid Didalam Syari’at Islam

Penjelasan Tentang Hukum Nasyid Didalam Syari’at Islam
Serta Fatwa Para Ulama tentang Nasyid
Akhir-akhir telah berkembang dikalangan sebagian muslimin suatu jenis hiburan yang dikenal dengan “nasyid islami”, dan dianggap sebagai alternatif  pengganti lagu-lagu dan musik yang didendangkan oleh para biduan (para penyanyi-pen) dan biduanita. Masing-masing dari “tim nasyid” tersebut menggunakan berbagai macam variasi dalam menampilkan nasyidnya, ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok, ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh, bahkan ada yang tidak ada perbedaan antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan “nasyid islami” kecuali sya’irnya saja. Adapun iramanya, musiknya dan lantunannya, tidak ada perbedaan.
Bila kita kembali melihat sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah muslimin berdakwah dengan cara-cara seperti ini, kecuali dari kelompok shufiyyah yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para sahabatnya y, sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.
Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata:
“aku meninggalkan Irak dengan munculnya sesuatu yang disebut “at-taghbiir” yang dibuat oleh kaum zindiq, mereka memalingkan manusia dari Alqur’an”.
(diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam “al-amru bil ma’ruf”:36. Abu Nu’aim dalam Al-hilyah (9/146), Al-Albani berkata: sanadnya shahih. Ibnul Qayyim menyebutkan dalam ighatsatul lahfaan (1/229), bahwa telah mutawatir penukilan dari Imam Syafi’i . Lihat :At-tahriim (163).
Imam Ahmad ditanya tentangnya ,beliau menjawab: itu adalah bid’ah. Lalu beliau ditanya: apakah kami duduk bersama mereka? Beliau menjawab, tidak.
(Majmu’ fatawa:11/569)
Abu Dawud berkata : itu tidak menakjubkan aku.
(Al-Insaf,Al-Mardawi:8/343).
At-taghbir adalah bait-bait sya’ir yang mengajak bersikap zuhud didunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi. Lalu sebagian yang hadir memukulkan potongan ranting diatas hamparan tikar atau bantal, yang disesuaikan dengan lantunan lagunya tersebut. Dari sini, nampaklah bahwa apa yang disebut dengan istilah “nasyid islami” tidak lain dari bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufi, lalu diberi polesan “islami” agar diterima oleh masyarakan yang tidak mengerti tentang hakekat bid’ah ini, seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada islam, “musik islami”, ”pacaran islami”, demokrasi islami”, ”demonstrasi islami”, atau embel-embel “islami” yang lainnya. Namun walhamdulillah, syari’at yag mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekedar melihat namanya, namun yang terpenting adalah hakekat dari apa yang terkandung dibalik nama tersebut.
Maka, sebagai nasehat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum yang disebut dengan “nasyid islami”.
## Fatwa Syeikhul islam Ibnu Taimiyyah ##
Syeikhul islam ditanya :
“tentang sekelompok orang yang berkumpul untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian. minum khamr dan yang lainnya. Kemudian salah seorang diantara syekh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Dan tidak memungkinkan baginya melakukan itu kecuali dengan cara membuat untuk mereka sebuah sama’ (nasyid) yang mereka berkumpul padanya dengan niat ini,dengan menggunakan rebana tanpa alat gemerincing dan nyanyian seorang penyanyi dengan sya’ir-sya’ir yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.Tatkala dilakukan cara ini, diantara kelompok tersebut ada yang bertaubat, dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, dan menjauhi perkara yang diharamkan. Maka dibolehkan apakah nasyid seperti ini yang dibuat syekh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini?
Maka beliau menjawab dengan panjang lebar, dan diantara yang beliau katakan:
“sesungguhnya syekh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakuka berbagai dosa besar itu bertaubat, dan tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan berupa metode yang bid’ah, ini menunjukkan bahwa syekh tersebut jahil tentang metode-metode yang syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan tabi’in mereka mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat dengan cara-cara yang syar’i, yang telah Allah Subhaanahu wata’ala, memberikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah. Dan tidak boleh dikatakan: bahwa tidak terdapat cara-cara yang syar’i yang Allah Subhaanahu watala’a, mengutus Nabi-nya dengannya yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat, sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan, orang-orang yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah Azzawajalla, dengan cara-cara yang syar’i, yang tidak disebutkan padanya seperti apa yang dilakukan dari berkumpul dengan cara bid’ah, bahkan orang-orang terdahulu dari kalangan muhajirin dan anshar dan yang mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah yang bertaqwa dari kalangan umat ini- telah bertaubat kepada Allah Subhaanahu wata’ala, dengan cara-cara yang syar’i.
(majmu’ fatawa:11:624-625)
## Fatwa Al-Imam Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani ##
Beliau menyebutkan dalam kitabnya “tahriim alaat at-tharb”, hal: 181, setelah menyebutkan tentang hukum nyanyian dan musik,lalu beliau berkata:
“masih tersisa bagiku kalimat terakhir yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah Azzawajalla-, yaitu septar apa yang mereka sebut dengan istilah “nasyid islami atau nasyid agama”. Mak a aku mengatakan:bahwa telah jelas pada pasal ketujuh tentang sya’ir-sya’ir yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan, sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya alat-alat musik seluruhnya, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan untuk para wanita, dan dari pasal terakhir ini kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala, kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Azzawajalla, apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan?, dan karena itulah para ulama mengharamkan nyanyian kaum shufiyyah, dan sangat keras pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang menganggapnya halal, Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, maka akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum shufiyyah dengan nasyid islami.
Bahkan pada nasyid islami terdapat hal negatif lainnya, yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu, dan dietakkan berdasarkan peraturan-peraturan musik ala timur atau ala barat yang membuat girang para pendengarnya dan membuat mereka berjoget, serta mengeluarkan mereka dari kesadaran mereka, sehingga yag menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, dan bukan hanya sekedar nasyid. Maka ini adalah bentuk penyelisihan yang baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Dan dapat menghasilkan penyelisihan lain dibelakang hal tersebut, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari al-qur’an dan meninggalkannya.Sehingga mereka termasuk kedalam keumuman sesuatu yang dikeuluhkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam dari kaummya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya Subhaanahu wata’ala :
(QS.Al-furqan:30)
Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus–dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Oman)- bahwa sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan untuk menyaingi nyanyian kaum shufiyyah seperti qasidah Al-Buwaishiri dan yang lainnya, dan nasyid tersebut terekam dikaset. Lalu tidak berapa lama kemudian nasyid tersebut sudah dibarengi dengan pukulan rebana, kemudian pada awal mulanya mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan,dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh, kemudian kaset tersebut menyebar dan dicopi menjadi beberapa kaset salinan, dan tersebarlah penggunaannya disekian banyak rumah, dan merekapun menyimaknya siang malam, apakah dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak, dan hal tersebut menjadi hiburan mereka, dan tidak hal tersebut terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi, dan kebodohan terhadap tipu daya setan,maka itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap alqur’an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya, sehingga al-qur’an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (3/317):
“Allah Azzawajalla berfirman dengan mengabarkan tentang Rasul-Nya dan Nabi-Nya Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam, bahwa ia berkata: (QS.Al-furqan:30), yang demikian itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar al-qur’an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah Azzawajalla:
(QS.Fushshilat:25)
Adalah mereka jika dibacakan kepada mereka al-qur’an maka mereka ribut dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya, maka ini termasuk meninggalkannya, dan meninggalkan beriman dengannya, dan meninggalkan pembenaran terhadapnya termasuk mengabaikan al-qur’an, dan meninggalkan mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya, dan meninggalkan beramal dengannya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, adalah termasuk mengabaikannya, dan berpaling darinya menuju kepada selainnya dari sya’ir, atau perkataan, atau nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan, atau satu metode yang diambil dari selain –nya termasuk mengabaikannya. Maka kami memohon kepada Allah yang maha Mulia, yang maha pemberi anugerah, maha kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhaiNya dari menghafal kitab-Nya dan memahaminya, dan menegakkan kandungannya, baik dimalam hari maupun disiang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha mulia dan Maha Pemberi”.
(tahriim alaat at-tharb:181-182).
## Fatwa syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ##
Beliau –rahimahullah – ditanya:” aku pernah mendengar sebagian nasyid islami dan padanya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian, namun tanpa musik dan dengan suara yang indah. Maka apakah hukumnya? Sebagai pengetahuan bahwa ada sebagian ikhwan tidak senang dengannya dan mengatakan: bahwa itu termasuk amalan kaum shufiyyah? Aku berharap dari syekh yang mulia untuk memberi jawaban!
Maka beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam:
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini yang dinamakan dengan nasyid islami, terdapat padanya sebagian perkara terlarang Diantaranya bahwa nasyid tersebut dinyanyikan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh, dan diantara hal yang terlarang bahwa itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Dan juga diantaranya terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya. Dan yang disebut pada pertanyaan yang tidak ada tepukan tangan dan tidak ada pukulan piring atau yang semisalnya, namun sipenyanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dan dengan suara yang indah dan merdu. Maka kami berpandangan agar tidak didengarkan nasyid seperti ini, sebab dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu. Dan yang lebih baik dari itu, seseorang mendengarkan nasehat-nasehat yang bermanfaat, yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan para ahli ilmu dan agama, karena padanya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya. Seseorang jika terbiasa tdak mengambil sesuatu sebagai nasehat kecuali dengan cara tertentu , seperti lantunan nyanyian, maka hal itu menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasehat-nasehat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa tidak mengambilnya kecuali nasehat dengan cara ini, dan ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud terhadap nasehat alqur’an yang mulia dan sunnah nabi, serta perkataan para ulama dan para imam.”
(diterjemahkan dari kaset: nur ‘alad darb,kaset no:258,bagian kedua)
## Fatwa Al-Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijari ##
“Sesungguhnya sebagian nasyid-nasyid yang yang banyak dilakukan oleh para pelajar diberbagai acara dan ditempat-tempat musim panas, dan mereka menamakannya dengan “nasyid-nasyid islami”, bukan dari islam, sebab telah dicampuri dengan nyanyian, lantunan naik turun, dan membuat girang yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, dan mendorong mereka untuk bergoyang dan memalingkan mereka dari dzikrullah ,bacaan al-qur’an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut padanya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka,dan yang lainnya dari hal-hal yang bermanfaat bagi siapa yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya, dan menjauhi apa yang disebutkan didalamnya dari larangan-larangan dan dia menghendaki dari ilmu dan amalannya wajah Allah Subhaanahu wata’ala.
(kitab: “iqamatud dalil ‘alal man’i minal anasyid al-mulahhanah wat-tamtsiil:6.dari situs sahab.net)
Barangsiapa yang mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan sya’ir-sya’ir para sahabat Radiyallohu ‘anhu, tatkala mereka membangun masjid nabawi, dan tatkala mereka menggali parit khandaq, atau mengqiyaskan dengan sya’ir perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya diwaktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat radiyallohu anhum mereka tidak pernah bernyanyi dengan sya’ir-sya’ir tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar diberbagai acara dan tempat-tempat musim panas. Namun para sahabat radiyallohu anhum mereka hanya mencukupkan dalam melantunkan sya’ir-sya’ir tersebut dengan mengangkat suara, dan tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara seperti yang dilakukan para pelajar dizaman kita. kebaikan semua kebaikan dengan mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabatny, dan kejahatan semua kejahatan dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka ,dan tidak dikenal pada zaman mereka. Namun itu berasal dari bid’ah kaum shufiyyah yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan melalaikan. Telah disebutkan dari mereka bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian dalam berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menjunjung Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan mereka menamakannya dengan dzikir, namun pada hakekatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah dan dzikir-Nya. Dan siapa yang kaum shufi yang sesat menjadi pendahulu dan panutan mereka, maka itu adalah seburuk-buruk yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (hal:7-8)
Dan beliau juga berkata: “sesungguhnya penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian dengan nama “nasyid islami”, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya:
- Diantaranya adalah: menjadikan bid’ah ini termasuk diantara perkara islam dan penyempurnanya, dan ini mengandung unsur tambahan terhadap syari’at islam, dan mengandung pernyataan bahwa syari’at islam belum sempurna di zaman Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam.
- Bertentangan dengan firman Allah Azzawajalla :
(اليوم أكملت لكم دينكم)
(QS.Almaidah:3)
Maka ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama bagi umat ini, maka pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai islami mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari agama islam kepada islam dan menjadikannya bagian darinya.
- Menisbahkan kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam kekurangan dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya, dimana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjama’ah dengan lirik lagu dan mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid islami.
- Menisbahkan kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para sahabatnya Radiyallohu ‘anhu dengan menelantarkan salah satu perkara islam dan tidak mengamalkannya.
- Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dan memasukkan kedalam perkara islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam “Al-i’tisham” apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun berkata: aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: barangsiapa berbuat bid’ah didalam islam dan ia menganggapnya baik,maka sungguh sia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah, sebab Allah berfirman:
(اليوم أكملت لكم دينكم)
“maka apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (hal:11).
## Fatwa Syekh Soleh Al-Fauzan ##
Syekh Soleh Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya “al-khuthab alminbariyyah” (3/184-185):
“Diantara yang perlu menjadi perhatian: apa yang banyak beredar diantara para pemuda yang semangat menjalankan agama berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjama’ah yang mereka namakan “nasyid islami”, dan ini salah satu jenis nyanyian, dan terkadang dengan suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual dibeberapa toko perekaman bersama dengan kaset rekaman al-qur’an al-karim, dan ceramah-ceramah Agama. Dan penamaan nasyid-nasyid ini dengan “nasyid islami” ini adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyari’atkan kepada kita nasyid, Islam hanya mensyari’atkan kepada kita berdzikir kepada Allah, membaca alqur’an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, maka itu berasal dari agama kelompok bid’ah shufiyyah, yang menjadikan agama mereka permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum nashara, yang menjadikan agama mereka bernyanyi sejara berjama’ah dan lantunan yang membuat orang bergoyang. Maka wajib berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang menjual dan mengedarkannya. Disebabkan karena apa yang terkandung dari nasyid ini yang menimbulkan fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, dan mengadu domba dikalangan kaum muslimin.”
(As’ilah al-manahij al-jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi: 20-21)
Perbedaan antara apa yang dinamakan dengan “nasyid islami” dengan dendangan sya’ir para sahabat Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam
- Mereka mendendangkan sya’ir-sya’ir mereka diwaktu-waktu tertentu, seperti ketika safar (yang disebut dengan “hida’”), dengan tujuan mengusir rasa kantuk, atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat seperti membangun rumah ,parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz), sedangkan “nasyid islami” menjadi hiburan disetiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu.
- berkata Sa’ib bin Al-Musayyab:
إني لأبغض الغناء وأحب الرجز
“sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz”
(HR.Abdur razzaq dalam al-mushannaf:11/19743. Dishahihkan Al-Albani dalam at-tahriim:279)
- Apa yang mereka lantunkan dari sya’ir-sya’ir tersebut disebut dengan nasyid kaum Arab, dan bukan nasyid islami.
- Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan diwaktu safar, atau sedang bekerja keras. Sedangkan “nasyid islami” dibuat dengan tujuan “sarana dakwah”, agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana yang telah lalu dari fatwa syeikhul islam Ibnu Taimiyyah, atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.
- Lantunan syair mereka tidak menyebabkan bergoyang dan melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yyang disebut “nasyid islami”.
- Lantunan syair-syair mereka tidak dibarengi dengan alat musik, sedangkan apa yang disebut “nasyid islami” mayoritasnya disertai dengan alat musik’
- Lantunan sya’ir mereka tidak disertai dengan intonasi do-re-mi seperti halnya nyanyian, berbeda dengan yang disebut nasyid islami yang menggunakan intonasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian secara umum, bahkan diantara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul kecuali gubahannya saja. Adapun liriknya, lantunannya persis dan tidak berbeda.
- Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan berjama’ah, tidak seperti apa yang dinamakan oleh mereka dengan “nasyid islami”.
(lihat kitab:al bayan li akhthaa’ ba’dhil kuttab, Syekh Saleh Fauzan :341, kitab _at-tahriim, Al-Albani:279).
Semoga Allah Azzawajalla, senantiasa membimbing kita untuk mengenal al-haq dan mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita kebatilan agar kita dapat menjauhkan diri darinya.
Balikpapan, Ma’had Ibnul Qoyyim 23 Safar 14329 H.
Sumber: http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=88:nasyid-disebut-nyanyian-islami-bolekah-di-dalam-islam-&catid=25:fataawa&Itemid=53
====================
Fatwa Para Ulama Tentang Nasyid
Berikut adalah kumpulan fatawa para ulama islam dan kaum muslimin mengenai haramnya nasyid, mengingat kesesatan yang satu ini sangat tersebar luas dan telah memakan banyak korban dari kalangan masyarakat kaum muslimin yang awam, bahkan yang dianggap ‘lebih berkecimpung’ dalam dunia islam, baik melalui jalur politik maupun hiburan, wallahul musta’an.
Berikut nama para ulama yang kami bawakan fatwanya:
FATWA ASY-SYAIKH AL-’ALLAMAH
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANY
Berkata Asy-Syaikh dalam kitabnya ‘Haramnya Alat-Alat Musik’ :
Fatwa beliau tentang Anasyid Islamiyah :
Telah jelas pada fasal tiga yang lalu apa-apa yang boleh dilagukan (dibaguskan suara) pada syi’ir dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas sebelumnya haramnya alat-alat musik semuanya kecuali duf pada hari ‘id dan walimah untuk wanita saja.
Dan pada fasal yang terakhir ini (di jelaskan –pent.) bahwasanya tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan syari’at Allah. Maka bagaimana boleh bertaqarrub kepadaNya dengan apa-apa yang di haramkan ?, oleh karena itu, para ulama mengharamkan ghina Shufiyyah.
Dan lebih diingkari lagi adalah orang-orang yang menghalalkannya, maka apabila pembaca menghadirkan dalam pikiran usul-usul yang kuat ini (tidak bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan syari’at Allah) jika baginya dengan sejelas-jelasnya bahwasanya tidak ada perbedaan dari segi hukum antara lagu-lagu (ghina) Shufiyah dan nasyid-nasyid Ad-Diniyah (menurut sangkaan mereka –pent.).
Bahkan kadang pada nasyid-nasyid ini ada bahayanya/penyakit lain, yaitu nasyid-nasyid ini kadang dilagukan (lirik-lirik nadanya seperti lirik-lirik nada lagu-lagunya orang gila) dan mengeraskan dengan cara-cara musik Barat dan orang-orang Barat yang mempesona para pendengar dan menjadikan mereka menari-nari dan mengeluarkan mereka dari kondisi mereka (yang sebenarnya –pent.). Maka yang menjadi tyjuan adalah lagu-lagu dan musik bukan nasyid itu sendiri dan ini jelas merupakan penyelisihan yang baru yaitu tasyabbuh dengan orang-orang kuffar dan orang-orang pelawak.
Dan di balik itu timbul lagi penyelisihan yang lain (… syariat -pent) yaitu menyerupai mereka, dalam keberpalingan mereka dari Al-Qur’an dan jauhnya atau hijrahnya mereka dari Al-Qur’an maka masuklah mereka ke dalam keumuman pengaduan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah, “Berkatalah Rasul “Ya Rabbku sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan : 30).
Dan saya mengingat sekali ketika saya di Damaskus dua tahun sebelum pindahnya saya ke sini (Oman) bahwasanya sebahagian pemuda muslim mulai menyenandungkan sebagian nasyid-nasyid yang selamat maknanya (dari khurafat dan syirkiah) dengan maksud menyelisihi gina orang-orang sufiah seperti Qasidah Al-Busiriyyah dan selainnya. Dan yang demikian di rekam dalam kaset, dan tidak lama kemudian sampai diiringi dengan gendang pada duf. Kemudian awalnya digunakan pada acara walimatul ursy dengan alasan bahwa (duf) boleh pada acara walimah. Kemudian kaset menyebar dan direkam dan menyebarlah penggunaannya di kebanyakan rumah-rumah dan mulailah mereka mendengarkan nasyid-nasyid ini siang dan malam apakah pada peringatan-peringatan (hari-hari tertentu seperti hari ‘Id atau walimah -pent) atau selainnya dan jadilah yang demikian sebagai hiburan dan adat kebiasaan mereka, dan apa-apa selain itu yang merupakan penguasaan hawa nafsu dan kejahilan dengan tipu daya syaithan maka syaithan memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an apalagi mempelajarinya, dan Al-Qur’an menjadilah suatu yang tidak di acuhkan bagi mereka sebagaimana dijelaskan oleh ayat yang lalu (di atas).
Ibnu Kastir berkata dalam tafsirnya : “Allah telah berkata dalam rangka mengabarkan tentang Rasul dan NabiNya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwasanya beliau berkata : “Ya; Rabbku sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai suatu yang telah diacukan”. (QS. Al-Furqan : 30).
Yang demikian karena orang-orang musyrikin dahulu tidak mau mendengar Al-Qur’an dan tidak mau memperhatikannya, sebagaimana firman Allah, “Dan orang-orang kafir berkata janganlah kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya”. (QS. Al-Fushilat : 26).
Maka mereka (orang kafir) jika dibacakan Al-Qur’an pada mereka, mereka memperbanyak hiruk pikuk dan pembicaran yang lain supaya mereka tidak mendengarkan (Al-Qur’an). Maka itulah hijrahnya (tidak acuannya) terhadap Al-Qur’an dan tidak mau beriman dengannya.
(Dan diantara perbuatan / sifat yang termasuk sifat menghijrai / tidak acuh terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut –pent.) :
•    Tidak membenarkannya.
•    Tidak mentadabburi dan tidak memahaminya / tidak mau memahaminya.
•    Meninggalkan beramal / tidak mengamalkannya.
•    Tidak mentaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
•    Berpaling darinya (Al-Qur’an) kepada selainnya seperti syi’r atau ucapan, lagu, permainan, atau cara-cara, jalan-jalan yang diambil dari selain Al-Qur`an, ini adalah termasuk menghijrai (tidak acuh pada Al-Qur`an -pent.)
Maka kita meminta pada Allah Yang Mulia Sang Pemberi Karunia dan Yang Maha Berkuasa atas apa-apa yang dikehendakiNya supaya melepaskan kita dari apa-apa yang dimurkaiNya dan supaya menggunakan kita pada apa-apa yang diridhoinya, seperti menghafal kitabNya dan memahaminya serta mengamalkan segala konsekwesi (keharusannya) sepanjang malam dan siang, sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya sesungguhnya Dialah yang Maha Mulia dan Maha Pemberi”. (Tafsir Ibnu Kastir 3/217).
___________
FATWA ASY-SYAIKH ‘ABDUL ‘AZIZ ALU SYEIKH HAFIZHOHULLAH
Apa hukum mendengarkan kaset-kaset nasyid Islamiyah ?
Beliau menjawab –hafizhohullah- :
“Sesungguhnya apa yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islamiyah yang kami telah dengar sebagian, sungguh disayangkan sekali kami mendapatkan nasyid-nasyid tersebut dengan nada-nada musik yang dipilih padanya suara yang paling halus, lembut dan yang paling bagusnya, yang menyentuh hati, maka disenandungkan nasyid-nasyid tersebut seolah-olah dia adalah musik. Bahkan sebagian suara-suaranya (yang menyenandungkan nasyid) melebihi suara-suara musik dan nada-nada musik, karena suara-suara tersebut dipilih dan dengan jenis yang khusus.
Dan ditutup, dihiasi dengan pakaian Islam sedang agama Islam berlepas diri dari perkara-perkara ini (nasyid-nasyd ini –pent.) Agama Islam terkandung didalamnya suatu kekuatan dan kemuliaan (bukan perkara-perkara yang bid’ah dan rendah ini –pent.)
Dan mereka disebutkan dengan nasyid-nasyid tersebut dari firman Allah / Kalamullah dan nasyid-nasyid tersebut menghalangii dari membaca Al-Qur`an dan mereka bergantung dengan nasyid-nasyid tersebut dan yang paling menyedihkan lagi adalah bahwasanya nasyid-nasyid tersebut dengan gendang-gendang dan duf atau rebana dengan nada-nada yang mereka namakan dengan Islamiyah dan ini tidak diragukan lagi tentang kesalahannya (atau kita tidak perlu ragu bahwasanya itu salah –pent.)
Saya berharap kepada saudara-saudara kami (semuanya) supaya menjauhinya (nasyid-nasyid tersebut). (Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyah no. 66 hal. 86-87)
________________
FATWA ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALEH AL-’UTSAIMIN
1.    Ditanyakan kepada beliau :
Apa hukumnya mendengarkan Nasyid-nasyid ?
Apakah boleh bagi seorang dai’yah mendengarkan nasyid-nasyid Islamiah ?
Jawab : Nasyid-nasyid islamiah dulu saya pernah mendengarnya dan tidak ada padanya yang buat lari. Dan akhir-akhir ini saya mendengarkannya dan saya dapatkan nasyid-nasyid tersebut dilagukan dan bermusik seperti nyanyian-nyanyian yang diiringi dengan musik dan kalau seperti ini maka saya berpendapat / melihat bahwa tidak boleh mendengarkannya.
Adapun jika nasyid-nasyid tersebut bisa saja tanpa dinyanyikan dan disenandungkan maka mendengarkannya tidak apa-apa akan tetapi dengan syarat seorang tidak menjadikan nasyid-nasyid ini sebagai suatu kebiasaan yang selalu dia mendengarkannya dan syarat lain, dia tidak menjadikan hatinya tidak mendapatkan manfaat kecuali dengan mendengarkan nasyid-nasyid tersebut, dan tidak merasa dapat nasehat dan mauidzah kecuali dengannya.
•    Karena apabila di jadikan sebagai suatu kebiasaan maka dia akan meninggalkan yang lebih penting.
•    Dan apabila dia menganggap bahwa di tidak dapati nasehat atau tidak menerima nasehat kecuali dengannya maka dia akan berpaling dari nasehat yang paling agung dan bermanfaat yakni apa-apa yang ada dalam kitabullah Al-Qur’anal Karim dan sunnah atau hadits-hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka apabila dia kadang atau sekali-sekali mendengarkannya atau dia lagi mengendarai mobil dan (ingin mendengarkannya) dan ingin supaya (agak santai) dalam perjalanan maka tidak apa.
2.    Di tanyakan juga pada Syaikh Shaleh Al-Utsaimin semoga Allah menjaga beliau :
•    Assalamu ‘alaikum warahmatullah.
•    Apakah boleh bagi laki-laki bernasyid Islami.?
•    Apakah boleh bernasyid dengan diiringi dengan memukul duf ?.
•    Apakah boleh bernasyid di selain hari raya dan pesta-pesta ?
Beliau menjawab :
Bismillahirrahmanirrahim,  wa’alikumussalam.
Bernasyid islami / nasyid-nasyid islami adalah nasyid yang diada-adakan (bid’ah) yang diada-adakan oleh orang-orang sufi oleh karena itu harus berpaling dari nasyid-nasyid ini ke nasehat-nasehat Al-Qur’an dan sunnah, kecuali di medan-medan perang untuk memberi semangat menyerang dan jihad fi sabilillahi Ta’ala maka ini baik dan jika diiringi dengan duf maka ini jauh dari kebenaran.
(Fatwa Aqidah hal 651 no 369. cetakan maktabah As-Sunnah)
___________
FATWA ASY-SYAIKH SHALEH BIN FAUZAN AL-FAUZAN.
Di tanyakan kepada beliau (Syeikh) Shaleh Al-Fauzan pertanyaan berikut :
Telah benyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid Islamiah dan ada yang berfatwa tentang bolehnya dan ada yang mengatakan bahwa nasyid-nasyid Islamiah sebagai ganti kaset-kaset lagu nyanyian maka bagaimana pendapat Syeikh (dalam hal ini -pent) ?.
Maka beliau (semoga Allah Ta’ala menjaganya) menjawab :
Penamaan ini (nasyid Islamiah) adalah penamaan yang tidak benar, dia adalah penamaan yang baru (diada-adakan) maka tidak ada yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islamiah dalam kitab-kitab Salaf dan kitab ulama yang dianggap ucapannya dan ahlul ‘ilmi dan yang ma’ruf adalah : bahwa orang-orang sufilah yang menjadikan nasyid-nasyid sebagai agama bagi mereka, yang mereka namakan dengan nama : “As-Sama’” (السماع) dan masa kita sekarang ini ketika banyak hizib-hizib (kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah). Maka bagi setiap hizib (golongan) dan jamaah dan nasyid-nasyid hamasiah (pembangkit semangat) mereka namakan nasyid-nasyid tersebut dengan nasyid-nasyid Islamiah. Penamaan ini tidak ada (dasar) kebenarannya, karena tak adanya dasar kebenarannya maka tidak boleh menggunakan nasyid-nasyid ini dan tidak boleh menyebarkan di kalangan umat (manusia) semoga Allah memberikan taufiqNya.
Majallah Da’wa    no : 1632.
Bulan Dzulqa’dah tahun : 1418 H.
atau 5 Maret 1998
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=304

Thursday, December 2, 2010

Adab Ketika Sakit


Adab Ketika Sakit

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat hikmah dan keadilan-Nya menimpakan berbagai ujian dan cobaan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman pada khususnya, dan seluruh makhluk pada umumnya.

Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya berbagai jenis penyakit di zaman ini, karena kemaksiatan dan kedurhakaan umat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Islam adalah agama yang sempurna, yang menuntut seorang muslim agar tetap menjaga keimanannya dan status dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Seorang muslim akan memandang berbagai penyakit itu sebagai :


1. Ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ


“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (qs. Al-Mulk: 2)


وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ


“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya`: 35)


Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini: “Kami menguji kalian, terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan. Maka Kami akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala), siapa yang sabar dan siapa yang putus asa (dari rahmat-Nya). Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: ‘Kami akan menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, maksudnya yaitu dengan kesempitan dan kelapangan hidup, dengan kesehatan dan sakit, dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram, dengan ketaatan dan kemaksiatan, dengan petunjuk dan kesesatan; kemudian Kami akan membalas amalan-amalan kalian’.”


Ujian dan cobaan akan datang silih berganti hingga datangnya kematian.


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?” (QS. Al-Baqarah: 214)


Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “(Ujian yang akan datang adalah) berbagai penyakit, sakit, musibah, dan cobaan-cobaan lainnya.”


Bila demikian, maka sikap seorang muslim tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan adalah senantiasa berusaha sabar, ikhlas, mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, terus-menerus memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga tidak marah dan murka terhadap taqdir yang menimpa dirinya, tidak pula putus asa dari rahmat-Nya.


2. Penghapus dosa.


Seandainya setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan mesti dibalas tanpa ada maghfirah (ampunan)-Nya ataupun penghapus dosa yang lain, maka siapakah di antara kita yang selamat dari kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sehingga, termasuk hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Dia menjadikan berbagai ujian dan cobaan itu sebagai penghapus dosa-dosa kita.


إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ


“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)


Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:


مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ


“Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)


Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94): “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:


a. mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).


b. lupa (akan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”


3. Kesehatan adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang banyak dilupakan.


Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ


“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang terlupa darinya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)


Betapa banyak orang yang menyadari keberadaan nikmat kesehatan ini, setelah dia jatuh sakit. Sehingga musibah sakit ini menjadi peringatan yang berharga baginya. Setelah itu dia banyak bersyukur atas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Itulah golongan yang beruntung.


Adab-adab Syar’i ketika Sakit


Di antara bukti kesempurnaan Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan adab-adab yang baik ketika seorang hamba tertimpa sakit. Sehingga, dalam keadaan sakit sekalipun, seorang muslim masih bisa mewujudkan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara adab-adab tersebut adalah:


1. Sabar dan ridha atas ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta berbaik sangka kepada-Nya.


Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرٌ لَهُ


“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua urusannya baik baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh orang yang mukmin. Apabila kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur, maka hal itu kebaikan baginya. Apabila kesempitan hidup menimpanya, dia bersabar, maka hal itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)


Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى


“Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)


2. Berobat dengan cara-cara yang sunnah atau mubah dan tidak bertentangan dengan syariat.


Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:


إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ


“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 1633)


Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ


“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan pula obat baginya. Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)


Di antara bentuk pengobatan yang sunnah adalah:


a. Madu dan berbekam


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ: شُرْبَةِ عَسَلٍ، وَشِرْطَةِ مُحَجِّمٍ، وَكَيَّةِ نَارٍ، وَأَنَا أَنْهَى عَنِ الْكَيِّ –وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي


“Obat itu ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay1 dengan api, namun aku melarang kay.” (HR. Al-Bukhari) 1 Besi dibakar, lalu ditempelkan pada urat yang sakit.


Dalam riwayat lain: “Aku tidak senang berobat dengan kay.”


b. Al-Habbatus sauda` (jintan hitam)


Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


الْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلاَ السَّامَ


“Al-Habbatus Sauda` (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. Ath-Thabarani. Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu bahwa sanadnya hasan, dan hadits ini punya banyak syawahid/pendukung)


c. Kurma ‘ajwah


Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


فِي عَجْوَةِ الْعَالِيَةِ أَوَّلُ الْبُكْرَةِ عَلىَ رِيْقِ النَّفَسِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سِحْرٍ أَوْ سُمٍّ


“Pada kurma ‘ajwah ‘Aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan yang lain) adalah obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Lihat Ash-Shahihah no. 2000)


d. Ruqyah


Yaitu membacakan surat atau ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan, kepada orang yang sakit. Bisa dilakukan sendiri maupun oleh orang lain.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ


“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra`: 82)


Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya berkata: “Al-Qur`an itu mengandung syifa` (obat) dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, hanya bagi orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian. Dan dengan Al-Qur`an berarti telah tegak hujjah atas mereka.”


Obat (syifa`) yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum. Bagi hati/ jiwa, Al-Qur`an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan, pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan niat yang jelek. Sedangkan bagi jasmani, dia merupakan obat dari berbagai sakit dan penyakit.


Dari Abu Abdillah Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:


أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُ فِي جَسَدِهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ضَعْ يَدَكَ عَلىَ الَّذِي يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ -ثَلَاثًا-؛ وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ


Dia mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rasa sakit yang ada pada dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu, lalu bacalah: بِسْمِ اللهِ (tiga kali), kemudian bacalah tujuh kali:


أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ


‘Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan’.” (HR. Muslim)


Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk sebagian keluarganya (yang sakit) lalu beliau mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca:


اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا


“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)


Atau berobat dengan cara-cara yang mubah, misalkan berobat ke dokter atau orang lain yang memiliki keahlian dalam pengobatan seperti ramuan, refleksi, akupunktur, dan sebagainya.


Adapun berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara perdukunan semacam mantera yang mengandung unsur syirik, atau rajah-rajah yang tidak diketahui maknanya, maka haram hukumnya, dan bisa menyebabkan seseorang keluar (murtad) dari Islam. Dari Mu’awiyah ibnul Hakam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku berkata:


يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللهُ تَعَالَى بِالْإِسْلاَمِ وَمِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتِهِمْ


“Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau mendatangi mereka (para dukun).” (HR. Muslim)


Dari Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid, dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا


“Barangsiapa mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu dia membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)


3. Bila sakitnya bertambah parah atau tidak kunjung sembuh, tidak diperbolehkan mengharapkan kematian.


Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي


“Janganlah salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya. Apabila memang harus melakukannya, maka hendaknya dia berdoa:


اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْراً لِي


‘Ya Allah, hidupkanlah aku bila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku dan wafatkanlah aku bila kematian itu adalah kebaikan bagiku’.” (Muttafaqun ‘alaih)


4. Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman, dll), atau amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, bila memungkinkan.


Bila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam perkara tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ


“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu`minun: 8)


Dari Abu Huraiah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:


مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ


“Barangsiapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya atau sesuatu yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih, akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)


Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ


“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)


5. Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ


“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:


مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”


Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)


Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata (At-Tamhid, 14/292): “Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.


Diperbolehkan baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼ dalam hal wasiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)


Wasiat tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ


“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)


Ibnu Mundzir rahimahullahu berkata (Al-Ijma’ hal. 100): “Para ulama sepakat bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.”


Ibnu Katsir rahimahullahu berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471): “Ketika wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris, serta mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat itu haram hukumnya, berdasarkan ijma’ dan dengan Al-Qur`an:


غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ


“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa`: 12)


Adapun wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wasiat tersebut batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku ini apa yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)


6. Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah


Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18): “Ketika adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah, maka termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah, untuk mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(Qs At-Tahrim: 6. )


Oleh karena itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:


a. Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:


أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ


“Buatlah liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”


b. Dari Abu Burdah dia berkata: Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal: “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)


Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya dengan kuat untuk mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi adat kebiasaan yang berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan dikuatkan perkara tersebut (dengan wasiat).”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis : Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan Judul: Adab Ketika Sakit

Sumber:
http://www.darussalaf.or.id
http://qurandansunnah.wordpress.com/2010/03/25/adab-ketika-sakit-dan-bentuk-pengobatan-yang-sunnah/

Adab Makan Dan Minum sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam

Seorang muslim ketika makan dan minum bertujuan untuk memelihara kesehatan badannya agar bisa melak-sanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Dengan ibadah tersebut dia akan mendapatkan kemuliaan dan kesenangan di akhirat. Karenanya seorang muslim tidak seharusnya makan dan minum semata karena hawa nafsu.

Orang muslim menghadapi hidangan dengan rasa syukur dan taqwa, lalu makan dan minum sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , yaitu sebagai berikut:

A. Adab sebelum makan

* Makan dan minum dari yang halal dan baik, menghindarkan dari yang haram dan meragukan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu dari (sesuatu) yang baik yang Kami anugerahkan padamu.” (Al-Baqarah: 172).

* Makan dan minum dengan niat untuk menguatkan diri dalam beribadah kepada Allah, agar mendapatkan pahala atas apa yang dimakan dan diminumnya. Karena, sesuatu yang mubah apabila diniati baik maka akan menjadi sebuah ketaatan yang menghasilkan pahala bagi seorang muslim.

* Mencuci tangan sebelum makan apabila ada kotoran di tangannya atau masih belum yakin dengan kebesihan tangannya.

* Meletakkan makanan di atas sufrah (alas) tempat makanan dan ditelakkan di atas lantai atau tanah, tidak di atas meja makan. Ini lebih mendekatkan kepada sikap merendahkan hati (tawadhu’) di dalam menerima nikmat Allah, sebagaimana Anas radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak makan di atas meja dan tidak pula di mangkok.” (HR. Al-Bukhari).

* Duduk dengan sopan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya: “Aku tidak makan dengan bertelekan/bersandar, sesungguhnya aku seorang hamba, aku makan sebagaimana seorang hamba makan dan aku duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (HR. Al-Bukhari).

* Meridhai makanan yang ada, tidak mencaci dan mencela makanan. Apabila menyukainya dimakan, dan apabila tidak ditinggalkan. Abu Hurairah radhiallahu anhu menjelaskan: “Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau menyukainya ingin beliau memakannya, jika tidak suka , beliau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

* Makan bersama-sama, dengan tamu atau dengan isteri dan anaknya, atau dengan pembantunya. Dalam sebuah riwayat: “Berkumpullah kamu sekalian dalam makananmu, niscaya diberkahi kamu sekalian di dalamnya.” (Abu Daud dan At-Tirmidzi, dengan sa-nad hasan karena banyak syahid-nya.)

B. Adab di saat bersantap

* Memulai makan atau minum dengan mengucapkan basmalah, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Apabila salah satu di antara kamu akan makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala. Apabila ia lupa menyebut nama Allah Ta’ala (di permulaannya), maka sebutlah nama Allah dengan meng-ucapkan, ‘Bismillahi awwalahu wa akhirahu’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

* Mengakhiri makan dengan mengucapkan alhamdulillah, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasalam mengajarkannya: “Barangsiapa yang selesai makan mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ

‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberi makan kepadaku, dan telah memberiku rizki dengan tanpa adanya kemampuan dan kekuatan dariku’, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

Atau membaca doa-doa lain yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dalam sunnah-sunnahnya yang shahih.

* Makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, dan memakan yang paling dekat dengannya, tidak dari tengah piring, sebagaimnana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam kepada Amr bin Salamah yang artinya :
“Hai bocah, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di dekatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain Rasulllah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Berkah itu turun di tengah makanan, maka makanlah kamu sekalian dari pinggirnya dan janganlah kalian makan dari tengahnya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia katakan hasan shahih).

Termasuk sunnah Rasul shallallahu alaihi wasalam , yaitu makan dengan jari, bila memungkinkan makanan itu dimakan dengan tiga jari, apabila tidak mungkin karena termasuk makanan yang berair boleh dimakan dengan mamakai sendok.

* Apabila makanan yang ia makan terjatuh, sebaiknya diambil dan dibersihkan dari kotoran, lalu dimakan setelah bersih. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Apabila sepotong makananmu jatuh, maka ambillah dan bersihkanlah apabila ada bagian yang kotor, kemudian makanlah (setelah bersih), jangan membiarkan makanan itu diambil oleh syaitan.” (HR. Muslim).

* Mengunyah dengan baik dan menjilat jari tangannya dari bekas makanan. Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , dari Ka’ab radhiallahu anhu , ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam makan dengan menggunakan tiga jari dan tatkala selesai beliau menjilat ketiga jarinya itu.”(HR. Muslim).

* Menghindari makan terlalu kenyang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang artinya : “Tidaklah anak Adam memenuhi suatu bejana yang lebih buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam dengan beberapa suap untuk menopang punggungnya. Apabila tidak bisa, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, hasan shahih).

* Tidak meniup/bernafas di dalam makanan yang panas, tidak memakannya kecuali makanan itu telah dingin, dan tidak bernafas di dalam tempat minum, namun bernafas di luarnya tiga kali. Anas menjelaskan, “bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bernafas tiga kali di saat beliau minum”. Dalam riwayat lain dijelaskan, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah melarang bernafas di dalam tempat minum atau meniup di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Bukhari dengan lafazh lain).

* Tidak minum dengan sekaligus habis. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma , Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya : “Kalian jangan minum (segelas dihabiskan) sekaligus seperti unta, tetapi minumlah dua atau tiga kali, dan sebelumnya hendaklah membaca basmalah, kemudian sesudahnya membaca alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi dan ia katakan, hasan shahih).

* Tidak minum langsung dari mulut teko/poci (makruh hukumnya). Dari Abu Hurairah radiallahuanhu, ia berkata: “Rasulullah melarang seseorang minum dari mulut tempat minuman atau teko.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Itulah di antara adab-adab makan dan minum yang bisa kita laksanakan sebagai wujud dari kecintaan kita kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam .

Sumber : buletin An-Nur 7 April 2004
I took it from

http://arifabutholhah.wordpress.com/2008/10/28/adab-makan-dan-minum/

Wednesday, December 1, 2010

Kisah Nyata Bar’ah : Hafidzah Qur’an (Gadis 10 Tahun) Yang Memilukan

Kisah Nyata Bar’ah : Hafidzah Qur’an (Gadis 10 Tahun) Yang Memilukan

http://sunnihomeschooling.co.cc/?p=231#more-231

Berikut ini adalah kisah sedih gadis berumur 10 tahun yang bernama Bar`ah. Orang tua Bar’ah adalah dokter dan telah pindah ke Arab Saudi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Pada usia ini, Bar`ah telah menghafal seluruh Al Qur’an berikut tajweednya, dia sangat cerdas hingga gurunya pernah mengatakan bahwa dia paling unggul untuk anak seusianya.

Dia hidup dalam keluarga kecil yang berkomitmen untuk Islam dan ajaran-ajarannya. Suatu hari ibunya mulai merasa sakit perut yang parah dan setelah beberapa kali diperiksakan, diketahuilah bahwa ibu bar’ah menderita kanker, dan ternyata kanker ini sudah dalam keadaan stadium akhir/kronis.

Ibu Bar’ah berfikir untuk memberitahu putrinya, terutama jika ia terbangun suatu hari dan tidak menemukan ibunya di sampingnya … dan inilah ucapan ibu Bar’ah kepadanya “Bar`ah aku akan pergi ke surga di depanmu, tapi aku ingin kamu selalu membaca Al-Quran dan menghafalkannya setiap hari karena Ia akan menjadi pelindungmu kelak… ”

Gadis kecil itu tidak benar-benar mengerti tentang apa yang ibunya beritahukan. Tapi dia mulai merasakan perubahan keadaan ibunya, terutama ketika ia mulai dipindahkan ke rumah sakit untuk waktu yang lama. Gadis kecil ini menggunakan waktu sepulang sekolahnya untuk menjenguk ibunya ke rumah sakit dan membaca Quran untuk ibunya sampai larut malam, sampai ayahnya datang dan membawanya pulang.

Suatu hari pihak rumah sakit memberitahu ayah Bar’ah melalui telpon bahwa kondisi istrinya itu sangat buruk dan ia perlu datang secepatnya, sehingga ayah Bar’ah menjemput Bar `ah dari sekolah dan langsung menuju ke rumah sakit. Ketika mereka tiba di depan rumah sakit ia meminta Bar’ah untuk tinggal di mobil, sehingga ia tidak akan shock jika ibunya meninggal dunia.

Ayah Bar’ah keluar dari mobil dengan berlinang air mata, ia menyeberang jalan untuk masuk rumah sakit. Tapi tiba-tiba datang sebuah mobil melaju kencang dan menabrak ayah Bar’ah dan ia meninggal seketika di depan putrinya itu… tak terbayangkan… tangis gadis kecil ini pada saat itu…!

Tragedi Bar`ah belum selesai sampai di sini… setelah lima hari semenjak kematian ayahnya, akhirnya ibu Bar’ah meninggal dunia juga. Dan kini gadis kecil ini sendirian tanpa kedua orangtuanya. Dan oleh orangtua dari teman-teman sekolahnya, Bar’ah dihubungkan dengan kerabatnya di Mesir, sehingga kerabatnya bisa merawatnya.

Tak berapa lama tinggal di mesir gadis kecil Bar`ah mulai mengalami nyeri mirip dengan ibunya dan oleh keluarganya ia lalu di periksakan, dan setelah beberapa kali tes di dapati Bar’ah juga mengidap kanker … tapi sungguh mencengangkan kala ia di beritahu kalau ia menderita kanker….inilah perkataan Bar’ah kala itu: “Alhamdulillah, sekarang aku akan bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Semua teman-teman dan keluarganya terkejut. Gadis kecil ini sedang menghadapi musibah yang bertubi-tubi dan dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah untuknya!….. Subhanallah….

Orang-orang mulai mendengar tentang Bar `ah dan ceritanya, dan Saudi memutuskan untuk mengurus nya … ia mengirim Bar’ah ke Inggris untuk pengobatan penyakit ini.

Salah satu saluran TV Islam (TV Al Hafiz) berhasil menghubungi gadis kecil ini dan memintanya untuk membaca Quran … dan ini adalah suara indah yang di lantunkan oleh Bar’ah …

http://www.youtube.com/watch?v=NnNS9ID9Ecw


Mereka (saluran TV Islam) berhasil menghubungi Bar’ah lagi sebelum ia dalam keadaan koma. Bar’ah berdoa untuk kedua orangtuanya dan menyanyikan sebuah Nasheed….

http://www.youtube.com/watch?v=yD5S-jtxFls


Hari-hari terlewati dan kanker mulai menyebar di seluruh tubuhnya, para dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya, dan ia telah bersabar dengan apa yang ditetapkan Allah baginya … tapi beberapa hari setelah operasi amputasi kakinya kanker sekarang menyebar ke otaknya, lalu oleh dokter diputuskan untuk melakukan operasi otak … dan sekarang Bar’ah berada di sebuah rumah sakit di Inggris menjalani perawatan dalam kondisi koma.

Silakan berdoa untuk Bar’ah, dan untuk saudara-saudara kita di seluruh dunia…

Video Bar’ah lainnya :http://www.youtube.com/watch?v=gkIO02s6Ywg%EF%BB%BF

Untuk Kemudahan Berselancar di Dunia Maya, pergunakan search engine islami : www.yufid.com

WEB BERMANFAAT
-------------------------
http://www.pengusahamuslim.com/

http://www.shalihah.com/

http://muslimah.or.id/

http://www.almanhaj.or.id/

http://www.muslim.or.id/



http://www.hang106.or.id/

http://www.radiorodja.com/

http://www.radioassunnah.com/

http://radiomuslim.com/



--- MP3 Ceramah Gratis ---

http://salafiyunpad.wordpress.com/download/audio-kajian

http://www.kajian.net/



--- EBook Islami Gratis ---

http://salafiyunpad.wordpress.com/download/markaz-download

http://sudahtahukahanda.wordpress.com/ebook-dan-pdf



--- Video Kajian Gratis ---

http://www.rodjatv.com/

http://ahsan.tv/

http://sss-tv.com/

----------------------------------------------------------------------------
Mau cari Mobil ?
Klik aja : http://irmanhamzah.tokobagus.com/